BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 06 Februari 2013

PERJANJIAN INTERNASIONAL




Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan  untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Termasuk kedalam perjanjian internasional adalah perjanjian yang  dibuat oleh negara dengan negara, antara negara dengan organisasi internasional, antara organisasi internasional yang satu dengan yang lainnya, dan perjanjian yang dibuat antara Tahta Suci dengan negara-negara. 
Pengertian di atas tidak mencakup perjanjian yang pernah diadakan pada masa lampau, seperti antara Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan kepala negara bumiputera. Tidak pula disebut perjanjian internasional bila perjanjian itu diadakan antara suatu negara dengan orang per orang ataupun antara negara dengan suatu badan hukum, misalnya perusahaan minyak.
Kontrak antara suatu negara dengan maskapai minyak bukan perjanjian internasional karena diatur  oleh hukum nasional negara yang bersangkutan dan dapat merupakan konsesi atau perjanjian bentuk lain (I.C.J  Reports dalam Kusumaatmadja, 1990 : 84).
Perjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan sekurang-kurangnya  berdasarkan dua kategori, yakni (1) berdasarkan pihak-pihak yang terlibat, dan (2) berdasarkan sifat mengikat perjanjian tersebut.
Jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat, perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak, seperti perjanjian antara Republik Indonesia dan Filipina tentang Pemberantasan Penyelundupan dan Pajak  Laut, atau perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan. Karena hanya diadakan oleh dua pihak, materi yang diatur dalam perjanjian pun hanya menyangkut kepentingan kedua  pihak. Oleh karena itu, perjanjian bilateral bersifat tertutup, artinya tidak ada kemungkinan bagi pihak lain untuk ikut serta dalam perjanjian.
Sedangkan perjanjian multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Perjanjian ini biasanya  tidak hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Beberapa contoh perjanjian multilateral  adalah Konvensi  Hukum Laut (tahun 1958). Konvensi Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik, dan Konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
Sedangkan jika dilihat dari sifat mengikatnya, perjanjian internasional dapat dibedakan atas treaty contract dan law making treaty.
Treaty contract adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kedalam jenis perjanjian seperti ini dapat dicontohkan perjanjian antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina tentang dwi kewarganegaraan. Akibat-akibat yang timbul dari perjanjian ini hanya mengikat Republik Indonesia dan RRC.
Adapun law making  treaty  adalah perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar ketentuan atau kaidah hukum  internasional. Kedalam jenis ini dapat dicontohkan Konvensi Hukum Laut (tahun 1958). Konvensi Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik, dan Konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
Setiap negara yang berdaulat memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional. Sedangkan negara bagian  tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional, kecuali jika diberi wewenang untuk itu oleh konstitusi negara federal.
Perjanjian internasional dibuat melalui tiga proses berikut: (1) perundingan (negotiation), (2) penandatanganan (signature), dan (3) pengesahan (ratification).
Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan dicantumkan dalam perjanjian  ditinjau dari berbagai segi, baik politik, ekonomi maupun keamanan. Dipertimbangkan pula apakah akibat-akibat yang  muncul setelah perjanjian disahkan akan menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian serta  kemungkinan dampak dan tanggapan pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian.
Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) lazim disebut pembicaraan (talk). Sedangkan perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian internasional yang melibatkan banyak pihak (multilateral) sering disebut konferensi diplomatik (diplomatic conference).
Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan sepenuhnya menjadi wewenang negara yang bersangkutan. Untuk  mencegah agar tidak terjadi pengatasnamaan negara secara tidak sah, hukum internasional mengadakan ketentuan tentang  kuasa penuh (full power) yang harus dimiliki oleh orang-orang yang mewakili suatu negara dalam perundingan untuk  mengadakan perjanjian internasional (Kusumaatmadja, 1990 : 89). Menurut ketentuan ini, seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah dan dengan demikian dapat mensahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu dan atau mengikat negara itu pada perjanjian apabila ia dapat menunjukkan suatu kuasa penuh, kecuali jika dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh demikian tidak diperlukan.
Keharusan menunjukkan surat kuasa penuh tidak berlaku bagi: kepala negara, kepala pemerintah (perdana menteri), menteri luar negeri yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala  tindakan untuk mengikat negaranya pada perjanjian yang diadakan. Selain ketiga pejabat tadi, kepala perwakilan diplomatik dan wakil suatu negara yang ditunjuk untuk mewakili suatu negara pada konferensi internasional atau pada suatu badan dari suatu organisais internasional adalah pejabat yang tidak perlu memperlihatkan surat kuasa penuh.
Tahap perundingan akan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah  (authentication of the text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai  jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan menurut cara yang disetujui semua pihak. Bila konverensi  tidak menentukan cara pengesahan, maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatnganan, penandatanganan sementara, atau dengan pembubuhan paraf (Kusumaatmadja, 1990 : 91).
Dengan menandatangani suatu naskah perjnajian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion)  atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
Sedangkan ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara yang bersangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar