Perjanjian internasional adalah perjanjian
yang diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk
melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Termasuk kedalam perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara, antara
negara dengan organisasi internasional, antara organisasi internasional yang
satu dengan yang lainnya, dan perjanjian yang dibuat antara Tahta Suci dengan
negara-negara.
Pengertian di atas tidak mencakup perjanjian
yang pernah diadakan pada masa lampau, seperti antara Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) dengan kepala negara bumiputera. Tidak pula disebut
perjanjian internasional bila perjanjian itu diadakan antara suatu negara dengan
orang per orang ataupun antara negara dengan suatu badan hukum, misalnya
perusahaan minyak.
Kontrak antara suatu negara dengan maskapai minyak bukan
perjanjian internasional karena diatur oleh hukum nasional negara yang
bersangkutan dan dapat merupakan konsesi atau perjanjian bentuk lain (I.C.J
Reports dalam Kusumaatmadja, 1990 : 84).
Perjanjian internasional sebagai sumber formal
hukum internasional dapat diklasifikasikan sekurang-kurangnya berdasarkan dua
kategori, yakni (1) berdasarkan pihak-pihak yang terlibat, dan (2) berdasarkan
sifat mengikat perjanjian tersebut.
Jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat,
perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian bilateral dan
perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang
diadakan oleh dua pihak, seperti perjanjian antara Republik Indonesia dan
Filipina tentang Pemberantasan Penyelundupan dan Pajak Laut, atau perjanjian
antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina pada tahun 1955 tentang dwi
kewarganegaraan. Karena hanya diadakan oleh dua pihak, materi yang diatur dalam
perjanjian pun hanya menyangkut kepentingan kedua pihak. Oleh karena itu,
perjanjian bilateral bersifat tertutup, artinya tidak ada kemungkinan bagi pihak
lain untuk ikut serta dalam perjanjian.
Sedangkan perjanjian multilateral, adalah
perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Perjanjian ini biasanya tidak hanya
mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Beberapa contoh
perjanjian multilateral adalah Konvensi Hukum Laut (tahun 1958). Konvensi
Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik, dan Konvensi Jenewa (tahun 1949)
tentang Perlindungan Korban Perang.
Sedangkan jika dilihat dari sifat mengikatnya,
perjanjian internasional dapat dibedakan atas treaty contract dan law
making treaty.
Treaty contract adalah perjanjian yang
dimaksudkan untuk melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian. Kedalam jenis perjanjian seperti ini dapat
dicontohkan perjanjian antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina
tentang dwi kewarganegaraan. Akibat-akibat yang timbul dari perjanjian ini hanya
mengikat Republik Indonesia dan RRC.
Adapun law making treaty adalah
perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar ketentuan atau kaidah hukum
internasional. Kedalam jenis ini dapat dicontohkan Konvensi Hukum Laut (tahun
1958). Konvensi Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik, dan Konvensi
Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
Setiap negara yang berdaulat memiliki
kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional. Sedangkan negara bagian
tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional, kecuali jika
diberi wewenang untuk itu oleh konstitusi negara federal.
Perjanjian internasional dibuat melalui tiga
proses berikut: (1) perundingan (negotiation), (2) penandatanganan (signature),
dan (3) pengesahan (ratification).
Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak
yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi
apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang
akan dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai segi, baik politik,
ekonomi maupun keamanan. Dipertimbangkan pula apakah akibat-akibat yang muncul
setelah perjanjian disahkan akan menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian serta kemungkinan dampak dan tanggapan pihak-pihak
yang tidak terlibat dalam perjanjian.
Perundingan dalam rangka perjanjian
internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) lazim disebut
pembicaraan (talk). Sedangkan perundingan yang dilakukan dalam rangka
perjanjian internasional yang melibatkan banyak pihak (multilateral)
sering disebut konferensi diplomatik (diplomatic conference).
Penunjukkan wakil suatu negara dalam
perundingan sepenuhnya menjadi wewenang negara yang bersangkutan. Untuk
mencegah agar tidak terjadi pengatasnamaan negara secara tidak sah, hukum
internasional mengadakan ketentuan tentang kuasa penuh (full power) yang
harus dimiliki oleh orang-orang yang mewakili suatu negara dalam perundingan
untuk mengadakan perjanjian internasional (Kusumaatmadja, 1990 : 89). Menurut
ketentuan ini, seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah
dan dengan demikian dapat mensahkan naskah suatu perjanjian internasional atas
nama negara itu dan atau mengikat negara itu pada perjanjian apabila ia dapat
menunjukkan suatu kuasa penuh, kecuali jika dari semula peserta konferensi sudah
menentukan bahwa surat kuasa penuh demikian tidak diperlukan.
Keharusan menunjukkan surat kuasa penuh tidak
berlaku bagi: kepala negara, kepala pemerintah (perdana menteri), menteri luar
negeri yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan
dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada perjanjian yang
diadakan. Selain ketiga pejabat tadi, kepala perwakilan diplomatik dan wakil
suatu negara yang ditunjuk untuk mewakili suatu negara pada konferensi
internasional atau pada suatu badan dari suatu organisais internasional adalah
pejabat yang tidak perlu memperlihatkan surat kuasa penuh.
Tahap perundingan akan diakhiri dengan
penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication
of the text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya
menetapkan ketentuan mengenai jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan
apakah naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula menyangkut
pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan menurut cara yang disetujui
semua pihak. Bila konverensi tidak menentukan cara pengesahan, maka pengesahan
dapat dilakukan dengan penandatnganan, penandatanganan sementara, atau dengan
pembubuhan paraf (Kusumaatmadja, 1990 : 91).
Dengan menandatangani suatu naskah perjnajian,
suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada
perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion)
atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
Sedangkan ratifikasi adalah pengesahan naskah
perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu
negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara yang bersangkutan sudah
menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilinya tidak secara
otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi
perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar